Jakarta, Agustus 2014, Public Virtue Institute (PVI) meyakini bahwa telah terjadi peningkatan perhatian dan pembicaraan terhadap isu-isu publik yang terkait calon-calon presiden selama proses pilpres. Isu-isu publik yang paling banyak dibicarakan, yaitu (i) korupsi dan peran KPK, (ii) kebinekaan dan toleransi, (iii) hak dan kesejahteraan buruh, (iv) melawan lupa kejahatan HAM masa lalu, khususnya penculikan aktivis, dan (v) Orde baru dan Soeharto. Isu-isu ini diperoleh berdasarkan frekuensi pembicaraan menurut topsy.
Peningkatan pembicaraan dan perhatian terhadap isu-isu publik ini berperan dalam membentuk postur aspirasi netizen. Isu publik yang menentukan postur aspirasi netizen adalah harapan netizen dan posisi para capres terhadap agenda-agenda demokrasi. Bersifat menentukan karena (1) posisi kedua pasangan capres terhadap agenda demokrasi tersebut berbeda tajam; dan (2) harapan netizen terkait agenda demokrasi telah memperoleh dukungan yang meluas dan tuntutannya telah semakin kongkrit.
Politisasi ini, selain berwujud angka pada suara masing-masing capres, yang lebih penting, mengandung aspirasi dan pesan, setidaknya dari sebagian pemilih pengguna sosial media yang bertarung sengit pada pilpres kali ini. Ketika KPU mengatakan bahwa pilpres kali ini jauh lebih berkualitas, walau prosentase partisipasi lebih kecil 2% dari pilpres 2009, kami memandang dalam aspek pesan serta aspirasi tersebutlah kualitas itu tercermin.
Karena pesan dan aspirasi tersebutlah sebenarnya Jokowi belum memenangkan pertarungan. Satu tahap menentukan, yakni pemilihan presiden 2014, sudah dimenangkan, namun pertarungan sesungguhnya sedang berlangsung, dan Jokowi belum menang. Berdasarkan postur aspirasi netizen, pertarungan tersebut sedang dan akan terus berlangsung di tiga arena:
- Demokrasi (keterbukaan, kebinekaan dan toleransi) harus difasilitasi ATAU lebih kuat dikontrol;
- Soeharto-Orba sebagai inspirasi dan pahlawan ATAU sebagai bagian masalah;
- Perdamaian terhadap kejahatan HAM masa lalu ATAU kedilan bagi kejahatan HAM masa lalu.
Mengapa di tiga arena tersebut pertarungan akan sangat menentukan?
- Pencapresan Prabowo adalah perwujudan belum tercapainya agenda demokrasi, dan popularitasnya menunjukkan masih luasnya nalar publik yang mendukung nilai-nilai dan figur-figur lama warisan Soeharto-Orde Baru. Sementara pencapresan Jokowi adalah wujud terobosan dalam demokrasi Indonesia era reformasi, dan peningkatan popularitasnya menunjukkan harapan publik terhadap cara berpolitik yang berbeda sekaligus kemungkinan terobosan penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu.
- Kepentingan netizen terhadap demokrasi yang lebih luas tidak serta merta meyakinkan mereka untuk berpihak, mendukung dan memilih Jokowi, apalagi bagi yang kritis terhadap figur-figur di belakang Jokowi. Namun popularitas, dukungan, dan potensi kemenangan Prabowo telah membuat mereka lebih solid untuk berupaya menjegal Prabowo, dan menjadikan agenda HAM secara umum sebagai pekerjaan rumah mendesak. Dan kemenangan Jokowi adalah perwujudan dari harapan yang lebih besar terhadap cara berdemokrasi dan penegakan HAM. Politisasi netizen yang meningkat pesat dalam isu-isu demokrasi dan Hak Azasi Manusia adalah modal penting untuk mendorong pemerintahan baru yang bekerja menuntaskan PR tersebut.
- Inilah faktor pendorong kemunculan relawan-relawan pendukung Jokowi yang lebih dinamis dan aktif pada pilpres kali ini. Relawan-relawan ini tersebar dengan membawa berbagai aspirasi dengan beragam metode penyampaian, dari yang terorganisir hingga spontan. Khusus terkait aspirasi demokrasi dan HAM, peran relawan ini akan diuji lebih keras dalam menghadang kekuatan elit politik yang akan menghambat terwujudnya PR demokrasi tersebut.
- Beberapa contoh proses partisipasi netizen dalam proses pilpres memperlihatkan wujud noise (kicauan/pembicaraan) yang berubah menjadi voice (aspirasi). Postur aspirasi netizen menunjukkan bahwa voice netizen terkait demokrasi dan HAM memiliki potensi besar menjadi policy. Namun, di saat yang sama, agenda ini membutuhkan tekanan publik yang sangat besar mengingat level kasus dan derajat keterlibatan para elit politik untuk menahan laju penuntasan agenda demokrasi ini akan sangat tinggi.