JAKARTA, KOMPAS – Ketika presiden terpilih Joko Widodo melontarkan gagasan sistem tekonologi informasi yang bisa digunakan untuk pengganti blusukan, istilahnya e-blusukan, warga menyambut penuh antusiasme. Namun, hal tersebut tidak akan bermanfaat besar jika tidak disertai jaminan hak warga untuk menyampaikan keluhan, protes, dan permohonan, yang biasa disebut sebagai hak petisi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Eryanto Nugroho, di Jakarta, Minggu (7/9), mengingatkan, apabila berbagai kanal aspirasi tidak disertai jaminan akan ditindaklanjuti pejabat publik yang berwenang, aspirasi tersebut akan sia-sia saja.
“Pemerintah ke depan harus menjamin hak-hak warga dan juga memastikan para pemegang kebijakan dan pejabat publik yang dipetisi wajib menanggapi petisi tersebut,” kata Eryanto.
Menurut Eryanto, secara universal hak petisi sudah mulai ada dalam Piagam Magna Charta, yang disebut THe Right to Petition.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, hak petisi juga diatur dalam pasal-pasal terkait kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Lebih eksplisit, hak petisi tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 44.
Bunyi Pasal 44, “Setiap orang baik sendri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal tersebut tinggal ditindaklanjutidengan menggunakan peraturan presiden. “Pasal 44 ini masih butuh komitmen dan visi pemerintahan baru agar antusiasme rakyat mengawal pemerintahan bisa terus berkembang,” kata Eryanto.
Banyak negara
Dian Abraham dari Masyarakat Antinuklir Indonesia mengatakan, di Jepang, setiap petisi warga serius disampaikan dan ditanggapi karena dijamin konstitusi.
“Hak warga untuk memohon, meminta ganti kerugian, menyatakan penolakan undang-undang baru, menolak atau meminta menurunkan pejabat, semua itu legal dan dijamin UU,” kata Dian.
Di Indonesia, jika ada pejabat yang dipetisi, tidak ada kewajiban untuk merespons petisi tersebut. “Akhirnya, gugatan kita hanya lewat jalanan saja. Jika petisi ditanggapi, itu seolah hanya bonus,” kata Dian.
Karena itu, Dian berharap, pemerintahan yang baru memikirkan perangkat e-blusukan menjadi bagian dari sistem pemerintahan yang baru, dan presiden diharapkan menjadi bagian dari penyelesaian.
Resa Temaputra dari Public Virtue Institute mencontohkan, e-blusukan yang ideal yaitu milik Pemerintah Korea Selatan yang mereka sebut sebagai e-people. Korsel justru lebih dulu membangun kanal aspirasi digital dibandingkan Amerika Serikat, yaitu sejak internet berkembang di Korsel pada tahun 1987 dan efektif pada 2003.
Apa yang dilakukan di Korsel memiliki dua kesuksesan, secara sistem sukses dibangun oleh pemerintah, dan secara fungsi juga digunakan rakyatnya sehingga partisipasi rakyat meningkat.
“Dalam satu tahun terakhir, ada 1,2 juta komplain, 111.239 proposal warga, dan 1.007 diskusi kebijakan,” kata Resa.
Di Korsel, semua orang bisa menggugat, termasuk orang luar, misalnya turis.
Deputi Direktur PVI John Muhammad mengatakan, Inggris juga sudah memiliki mekanisme untuk merespons petisi.
“Mereka meminta warganya untuk mengumpulkan sedikitnya 100.000 tanda tangan atas suatu masalah agar bisa dibahas di parlemen dengan batas waktu pengumpulan tanda tangan selama satu tahun,” katanya.
Di Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama, dengan sistem kanal bernama “We The People”, mewajibkan sebuah petisi harus meraup sedikitnya 150 tanda tangan sampai dengan 30 hari jika ingin segera ditampilkan oleh pengelola.
“Fungsi lain kanal aspirasi yakni untuk mencegah pengentalan para elite,” tambah Aquino Ayunta dari Sekitar Kita. (AMR)
sumber: Kompas, Senin, 8 September 2014