Categories
Expert Opinion

Asal Usul Manusia

Anang Eko Priyono

Saya lupa membaca dari literatur acak yang mana, tapi sudah sejak lama tertanam dalam pikiran saya bahwa spesies manusia adalah tamu di muka bumi. Penghuni asli yang menjadi tuan rumah bumi yang sesungguhnya adalah binatang.

Bumi adalah lanskap orisinal dunia fauna. Itu terbukti dari fakta arkeologis bahwa manusia baru muncul setelah ratusan juta tahun bumi dihuni berbagai spesies binatang.

Jadi, sampai titik ini konsep mengenai “bumi manusia” adalah invensi. Manusia yang muncul belakangan akhirnya memang menjadi kolonialis dunia fauna.

Mengembangkan peradaban besar dan tak tertandingi oleh binatang, manusia kemudian dianggap merupakan ahli waris bumi yang sejati.

Pertanyaannya, dari mana asal-usul manusia? Jika pertanyaan ini hanya merupakan pertanyaan teologis, doktrin agama mungkin cukup memuaskan dengan sekadar jawaban bahwa manusia adalah makhluk spiritual dari langit yang terlempar di dunia terestrial-material.

Proyek tertinggi umat manusia adalah transendensinya kembali ke dunia spiritual-celestial. Itu jawaban yang sudah cukup memuaskan.

Tapi masalahnya adalah pertanyaan tentang asal-usul manusia juga menjadi pertanyaan valid biologi. Di sini kompleksitas dimulai. Sebagai jasad, manusia adalah makhluk yang mewarisi juga kesadaran reptil.

Semangatnya untuk mencapai tingkat penyintasan tertentu agar mencapai kualitas evolutifnya sendiri membuat manusia memiliki sistem neurologis yang berpusat pada egonya.

Leluhur reptil manusia mengajari bagaimana kita bertahan, melawan, berkuasa, dan berkembang biak. Sepenuhnya “otak-tua” manusia yang terletak di hipotalamus membuat spesies manusia menjadi makhluk bumi yang egois.

Mereka berkembang dengan mekanisme animalitas — mengontrol dan mendominasi terhadap wilayah fisik dan kekuasaan, sambil menjamin kelangsungan hidup melalui seks dan kenikmatan.

Tapi penelitian biologi mutakhir juga menemukan kenyataan bahwa kapasitas manusia menyadari dirinya memungkinkannya memiliki “otak-baru” — sebuah neocortex dengan kekuatan penalaran yang membuat kita bisa merenungkan dunia dan diri kita sendiri di luar skema naluriah purbanya sebagai keturunan reptil.

Inilah kapasitas baru manusia untuk memiliki passion dan compassion. Di situlah terjadinya revolusi spiritual setelah evolusi materialnya semakin kokoh dan stabil.

Mungkin agama memiliki tafsir mengenai momen ini sebagai momen penciptaan Adam-spiritual, Adam setelah mengalami dosa. Tapi agama juga mengalami evolusi ribuan tahun dengan munculnya berbagai jenis kesadaran spiritual yang beragam.

Masalahnya kadang-kadang dalam agama justru terjadi devolusi karena munculnya iman reptil yang egosentris, supremasif, dan primitif. Agama tidak mendekatkan manusia menuju transformasi spiritual, tapi malah menyeret manusia kembali ke wilayah kesadaran purba pra-manusia …

Leave a Reply