Latar Belakang
Dampak pandemi Covid-19 dan penyebarannya tidak terbatas pada kesehatan, ekonomi, dan politik, tetapi juga berpengaruh pada ibadah masyarakat dan cara pelaksanaannya. Karenanya tidak mengherankan bila sebagian besar negara di dunia menyerukan pelarangan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid untuk menghindari pandemi demi keselamatan jiwa dan kesehatan jamaah.
Di Indonesia, penyebaran Covid-19 sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Jumlah orang yang positif terdampak virus tersebut bertambah setiap hari. Bahkan jumlah pasien meninggal karena virus tersebut juga semakin bertambah akibat lemahnya politik kebijakan negara dalam penanganan pandemi dan tidak patuhnya sebagian orang pada protokol kesehatan dengan mengikuti kegiatan berkerumun yang dampaknya berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Di masa penyebaran Covid-19 yang cukup masif di seluruh penjuru negeri, Kementerian Agama RI, didukung oleh fatwa sejumlah organisasi dan lembaga keagamaan serta pendapat para ahli kesehatan, telah mengeluarkan peraturan yang di antaranya mencakup larangan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat jamaah dan shalat Jum’at. Banyak orang kecewa dengan aturan ini karena mereka tidak bisa berdoa, menyimak khutbah dan shalat jamaah di masjid.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa mengenai pelaksanaan ibadah selama masa pandemi Covid-19. Fatwa menganjurkan untuk tidak melaksanakan shalat jamaah, shalat Jum’at di masjid dan boleh menggantinya dengan shalat Zhuhur di rumah. Hal ini untuk menghindari kerumunan massa, sebagaimana tertuang di dalam pernyataan berikut, “Shalat Jum’at dapat diganti dengan shalat Zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jum’at merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.” Fatwa ini sejalan dengan fatwa yang telah dikeluarkan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi keagamaan yang lain.
Sejauh ini sebagian besar lembaga-lembaga fatwa keagamaan di Indonesia seperti MUI maupun LBMNU belum mengeluarkan fatwa terkait boleh atau tidaknya pelaksanaan Shalat Jum’at secara virtual (Shalat Jum’at Virtual). Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam, mengatakan bahwa live streaming dari masjid besar diperbolehkan. Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mohamad Mas’udi mengatakan, “Kita tidak membenarkan dan tidak menyalahkan karena itu ijtihad pribadi” (Kumparan, 2021).
Belakangan muncul sikap organisasi keagamaan yang belum setuju dengan pelaksanaan shalat Jum’at secara virtual, yaitu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Meskipun demikian, Majelis tetap menyampaikan rasa penghormatan pada adanya perbedaan pendapat tentang pelaksanaan Shalat Jum’at secara virtual. Bahkan Shalat Jum’at virtual telah dikaji dan dipraktikkan oleh Prof. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan, MTT PP Muhammadiyah.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Shalat Jum’at Virtual tidak dilarang secara mutlak, karena ada fatwa-fatwa lain dari para ulama yang bisa dijadikan dasar hukum dalam pelaksanaannya.
Dengan pertimbangan ini, Public Virtue Research Institute bermaksud menyelenggarakan Shalat Jum’at Virtual di Masjid Jami’ Virtual Public Virtue. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi umat Muslim—khususnya bagi warga Muslim DKI Jakarta dan sekitarnya yang hingga kini menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) maupun PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Terlebih karena Jakarta adalah wilayah dengan jumlah data pasien Covid-19 terbanyak di Tanah Air. Shalat Jum’at secara virtual akan dilaksanakan sesuai dengan aturan syariat di masa Pandemi Covid-19 dengan dasar fatwa hukum dari para ulama.
Dasar Hukum
Seiring dengan merebaknya pandemi dan penyebaran infeksi virus terutama di tempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan manusia, para ulama fikih sepakat mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya meninggalkan shalat Jum’at maupun shalat jamaah di masjid, aula, majelis, tempat-tempat ziarah, dan lain sebagainya.
Para ahli fikih menyadari bahwa fikih selalu mengembangkan pendapat terkait peristiwa-peristiwa baru, dan bahwa hukum berubah-ubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, dan kondisi. Tetapi pada saat yang sama mereka membedakan antara hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum perkara selain itu. Mereka menetapkan hukum ibadah dengan logika “mengikuti” dan “melarang apa yang tidak disebutkan oleh syariat”. Sementara dalam masalah-masalah muamalah dan hal-hal selain ibadah, mereka cenderung memperluas pendapat hukum dengan menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan.
Namun pembedaan tersebut tidak selalu menjadi pedoman dalam menyelesaikan perbedaan pendapat. Sebab ibadah kerap berbenturan dengan keadaan-keadaan darurat dan perkembangan baru. Dalam keadaan tersebut, logika “mengikuti” dan “melarang apa yang tidak disebutkan oleh syariat” tidak bisa bekerja, sehingga memaksa para ahli fikih melakukan ijtihad-ijtihad baru untuk memproduksi hukum-hukum yang baru.
Selama masa pandemi Covid-19 banyak fatwa sudah dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bagaimana “mesin fikih” bekerja di masa krisis dengan membawa semangat peradaban. Selain guna memperluas gagasan dan pandangan, fatwa juga dikeluarkan dengan mempertimbangkan keputusan pemerintah berupa aturan-uturan yang bisa dipertanggungjawabkan ditinjau dari sisi hukum positif maupun hukum agama (fikih). Fenomena ini tentu merupakan salah satu ciri khas dalam pemikiran Islam. Keterbukaan pemikiran adalah sesuatu yang indah, yaitu dengan ruang kebebasan untuk membaca kembali gagasan-gagasan keagamaan dan aturan-aturan yang ada, sembari tetap mengikuti keputusan pemerintah dan mengajak masyarakat untuk mematuhinya.
Di seluruh dunia Islam setidaknya ada tiga arus ijtihad fatwa di masa pandemi Covid-19 ini, yaitu:
Pertama, pendapat mengenai bolehnya menutup masjid untuk shalat jamaah dan shalat Jum’at, dengan tetap menyiarkan adzan sebagai salah satu ritual Islam. Pendapat ini berasal dari mayoritas ahli fikih kontemporer, dewan-dewan hukum Islam, lembaga-lembaga fatwa, dan ormas-ormas keagamaan seperti: Dewan Ulama Senior di Al-Azhar, Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi, Federasi Ulama Muslim Dunia, Dewan Fatwa dan Riset Eropa, Dewan Tinggi Ilmiah Maroko, Komisi Fatwa Aljazair, Lembaga Fatwa Negara Kuwait, Dewan Fatwa Emirates, Lembaga Fikih Irak, Komite Fatwa Departemen Fatwa Yordania, Dewan Fatwa Islam Palestina, Fatwa Para Pakar Fakultas Syariah Universitas Qatar, Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah.
Pendapat-pendapat mereka mengenai bolehnya meniadakan shalat Jum’at dan shalat jamaah, bolehnya shalat jamaah di rumah dengan pahala yang sama dengan shalat jamaah di masjid, hingga shalat Zhuhur empat rakaat sebagai pengganti shalat Jum’at, didasarkan pada sejumlah dalil, di antaranya:
- Fiqh al-a’dzâr (fikih halangan/hukum yang membolehkan umat Muslim tidak melakukan sesuatu karena suatu alasan atau halangan tertentu yang dibenarkan di dalam syariat), yaitu bahwa syariat membolehkan tidak melaksanakan shalat jamaah karena alasan tertentu, seperti sakit, hujan, dan lainnya, yang resikonya jauh lebih kecil dari bahaya virus Covid-19.
- Teks-teks al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang memudahkan (al-taysîr) dan tidak menyusahkan (raf’ al-haraj), serta teks-teks normatif agama lainnya yang memberikan keringanan (tarakhkhush) untuk tidak melaksanakan shalat jamaah.
- Qiyâs (analogi) mengenai anjuran untuk menjauhi masjid bagi orang yang mulutnya berbau tidak sedap. Terkait penyebaran Covid-19, qiyâs yang dipakai adalah qiyâs al-awlâ, yaitu jenis qiyâs di mana ‘illah yang ada pada furû’ lebih awlâ (lebih besar) dari ‘illah yang ditetapkan. Di sini bisa di-qiyâs-kan, meninggalkan shalat jamaah di masjid karena sesuatu yang lebih berbahaya, yaitu penyebaran Covid-19.
- Al-Tarjîh al-maqâshidîy, yaitu dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan dasar syariat (maqâshid al-syarî’ah): hifzh al-dîn (menjaga agama), hifzh al-nafs (menjaga jiwa), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan), dan hifzh al-mâl (menjaga harta). Menghindarkan orang dari kematian akibat Covid-19 adalah bagian dari hifzh al-nafs, sementara menegakkan shalat jamaah di masjid termasuk hifzh al-dîn. Di sini dapat dikatakan bahwa menghindarkan orang dari kematian akibat Covid-19 lebih diutamakan daripada menegakkan shalat jamaah dan shalat Jum’at di masjid.
Masjid adalah rumah Allah, tempat didzikirkannya nama-nama Allah, tempat paling suci di muka bumi yang sering dikunjungi para malaikat, tempat hati orang-orang mukmin berteduh dan meraih ketenangan. Tentu saja tidak ada orang mukmin yang rela dicegah pergi ke masjid untuk beribadah. Tetapi, sebagaimana dinyatakan di dalam kaidah ushul fikih, “Dar` al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih,” (mencegah bahaya harus lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan).
Dan di antara tujuan syariat Islam (maqâshid al-syarî’ah) adalah hifzh al-dîn (menjaga agama) dan hifzh al-nafs (menjaga jiwa). Fatwa sejumlah organisasi keagamaan masuk dalam dua kerangka hukum ini: pertama, hifzh al-dîn, yaitu bahwa agama dijaga dengan melaksanakan shalat di rumah pada hari Jum’at karena alasan kedaruratan yang diakui syariat (al-dharûrah al-syar’îyyah). Kedua, hifzh al-nafs, yaitu bahwa jiwa dijaga dengan melaksanakan shalat Zhuhur di rumah pada hari Jum’at sebagai ganti shalat Jum’at karena kekhawatiran terjangkit virus atau menyebabkan penularannya.
Kedua, pendapat mengenai tidak bolehnya pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid bagi mereka yang terpapar Covid-19, atau mereka khawatir atas diri mereka sendiri, shalat Jum’at dan shalat jamaah tetap wajib dilaksanakan di masjid dengan ketentuan-ketentuan yang memungkinkan masjid tidak ditutup, dan bila para pakar menyatakan bahwa shalat jamaah dan shalat Jum’at di masjid berpotensi besar menyebarkan virus maka shalat jamaah dan shalat Jum’at itu dilaksanakan dalam jumlah kecil yang terdiri dari seorang imam dan beberapa orang jamaah saja.
Pendapat ini di antaranya disampaikan oleh Komite Fatwa Lembaga Fikih Amerika Utara. Mereka menggabungkan antara pendapat pertama dan pendapat kedua tanpa melakukan tarjîh (menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya). Menurut mereka, tarjîh tidak perlu dilakukan, sebab teks-teks yang memungkinkan peniadaan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid hanya untuk orang-orang memiliki udzur (alasan) seperti sakit, atau untuk orang-orang yang khawatir atas diri mereka sendiri. Adapun orang-orang yang sehat, mereka mempunyai hak melaksanakan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid. Dan seiring dengan merebaknya Covid-19, dengan mengacu pada seluruh dalil yang ada, shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid tetap bisa dilaksanakan dengan sejumlah ketentuan yang memungkinkan orang-orang terhindar dari bahaya.
Ketiga, pendapat mengenai wajibnya pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid, serta tidak bolehnya penutupan masjid. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa ahli hukum dari para dosen di fakultas syariah, dan tidak ada satupun badan atau lembaga fatwa publik yang menyampaikan pendapat ini, sehingga pendapat ini tidak bisa disebut sebagai hasil dari ijtihad kolektif.
Umumnya mereka mendasarkan pendapat mereka kepada keumuman teks-teks normatif agama mengenai wajibnya pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat jamaah di masjid. Mereka membantah dalil-dalil kelompok pertama mengenai bolehnya penutupan masjid, bahwa dalil-dalil tersebut diperuntukkan bagi beberapa individu Muslim yang diizinkan untuk tidak pergi ke masjid. Adapun mengenai merebaknya Covid-19, itu tergantung kebijakan pemerintah. Sehingga dalil-dalil mengenai bolehnya meninggalkan shalat jamaah tidak bisa digeneralisir dengan penutupan masjid secara menyeluruh.
Argumen Bolehnya Shalat Jum’at Virtual di Masa Darurat
Pakar fikih Maroko, Syaikh Ahmad ibn al-Shiddiq al-Ghamari, mendapat banyak keluhan dari para khatib Jum’at pada masa penjajahan. Ia lantas mengeluarkan fatwa mengizinkan shalat Jum’at dengan mengikuti seorang imam melalui radio, dan ia kemudian menyusun sebuah kitab yang berjudul “al-Iqnâ’ bi Shihhat Shalât al-Jumu’ah fî al-Manzil Khalfa al-Midzyâ’” (Kepastian Mengenai Sahnya Shalat Jum’at di Rumah di Belakang Radio).
Tidak ada yang membayangkan bahwa fatwa Syaikh Ahmad ibn al-Shiddiq al-Ghamari yang dikeluarkan berpuluh-puluh tahun yang lalu akan bergema pada saat ini sehingga memicu perdebatan di kalangan ulama tentang bolehnya seorang jamaah/makmum mengikuti seorang imam di televisi dalam melaksanakan shalat jamaah, shalat Jum’at, dan shalat Tarawih pada masa merebaknya pandemi Covid-19.
Fatwa Syaikh al-Ghamari, yang pada masanya tidak ada seorang ulama pun yang menyanggahnya, atau setidaknya memberikan tanggapan—kecuali sejumlah ulama di Mesir yang lebih banyak mencelanya daripada mengkritisinya—di masa ini, dengan argumen dan interpretasinya yang luwes, telah menjadi bagian dari senjata yuristik yang digunakan dalam perdebatan di Maroko dan bahkan di seluruh dunia di kalangan para ahli fikih dan sarjana muslim. Di dalam kitab yang disusunnya, Syaikh al-Ghamari menyebutkan tiga syarat bolehnya mengikuti seorang imam di radio dalam melaksanakan shalat Jum’at. Pertama, kesamaan waktu antara imam/khatib dan jamaah/makmum di dalam suatu negara. Tidak diperbolehkan bagi seseorang yang ada di Indonesia untuk shalat Jum’at mengikuti seorang imam yang ada di Arab Saudi melalui radio, sebab jarak antara keduanya sangat jauh dan waktu pelaksanaan shalat Jum’at pun tidak sama. Kedua, rumah jamaah/makmum harus ada di belakang tempat imam, sehingga posisinya tidak berada di depan imam. Ketiga, jamaah/makmum tidak hanya sendirian di dalam barisan, tetapi wajib ditemani orang lain meski hanya satu orang.
Menurut Syaikh al-Ghamari, shalat Jum’at bisa dilakukan di rumah melalui radio di masa-masa krisis dan darurat, termasuk di masa-masa terjadinya bencana. Dalam pelaksanaannya, khutbah merupakan unsur terpenting sebagai pengganti dua rakaat shalat Zhuhur, dan itu bisa didengarkan dan disimak melalui radio. Selain itu, secara hukum shalat Jum’at tidak harus dilakukan di masjid, sebagaimana dalam hadits Sayyidah Aisyah ra., yang mengizinkan orang-orang di luar masjid mengikuti imam yang ada di dalam masjid. Di sini, dalam pelaksanaan shalat Jum’at, yang penting adalah mengikuti imam, mendengar suaranya, dan itu bisa dilakukan melalui radio.
Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, ahli fikih kontemporer dan pakar ilmu maqâshid, membahas masalah ini secara lebih fleksibel dengan pertimbangan ilmiah. Ia menyatakan bahwa masalah ini sesungguhnya bukanlah masalah baru, melainkan sudah dibahas oleh para sarjana klasik, di antaranya oleh para ulama mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Ia menyoroti dua hal dari pandangan Syaikh al-Ghamiri terkait syarat-syarat bolehnya mengikuti seorang imam via radio dalam melaksanakan shalat Jum’at: apakah ittishâl al-shufûf (keterhubungan/kedekatan barisan, saling kontak fisik) dan hudhûr al-jamâ’ah khalf al-imâm (kehadiran jamaah/makmum di belakang imam) merupakan syarat dalam shalat? Kalau iya, apakah keduanya merupakan syarth shihhah al-shalâh (syarat sahnya shalat) atau syarth kamâl al-shalâh (syarat kesempurnaan shalat)?
Menurut Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, di dalam mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, kedua hal itu dipandang sebagai syarth kamâl al-shalâh, berbeda dengan mazhab Hanafiyah yang menyebut keduanya sebagai syarth shihhah al-shalâh. Ia mengatakan, berdasar mazhab Malikiyah, bahwa shaf tidak harus terhubung atau berdekatan (‘adam ittishâl al-shufâf) dan makmum/jamaah tidak harus berada di belakang imam (‘adam kawn al-ma`mûm warâ` al-imâm). Sehingga, menurutnya, syarat bolehnya mengikuti seorang imam melalui radio dalam melaksanakan shalat Jum’at secara berjamaah adalah jamaah/makmum dapat mendengarkan takbir imam, serta mengetahui rukuk dan sujudnya imam dengan pendengaran, dan tidak harus melihat imam, tetapi kalau ia bisa mendengar sekaligus melihat seluruh gerakan imam itu lebih sempurna.
Syaikh al-Husain Ayit Sa’id menyebutkan cerita tentang Imam Malik yang pernah ditanya bagaimana jika antara imam dan jamaah/makmum terhalang sungai kecil, dan Imam Malik menjawab, “Tidak apa-apa.” Imam Malik mengatakan demikian karena, dalam kondisi di masanya, kalau hanya terhalang sungai kecil, suara takbir dan bacaan imam masih mungkin terdengar oleh jamaah/makmum, tetapi kalau sungainya besar, suara takbir dan bacaan imam kemungkinan tidak akan sampai ke para jamaah/makmum. Berbeda dengan kondisi di zaman sekarang, seiring kecanggihan alat-alat pengeras suara, meskipun terhalang sungai sangat besar sekalipun, suara takbir dan bacaan imam akan tetap terdengar. Dengan demikian, menurut Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, mengikuti pendapat mazhab Malikiyah, shalat Jum’at melalui televisi dan alat-alat komunikasi mutakhir, khususnya di masa penyebaran Covid-19 seperti sekarang ini, di mana masjid-masjid ditutup untuk sementara waktu, diperbolehkan dan tidak dilarang.
Syaikh al-Husain Ayit Sa’id menegaskan bahwa ia tidak menyampaikan pendapat pribadi, melainkan pendapat dari para tokoh ulama mazhab Malikiyah tentang masalah tersebut, dan bahwa pendapatnya dibatasi oleh waktu dan tempat, sehingga tidak boleh digeneralisasi untuk semua keadaan, waktu, dan tempat. Ia sepakat dengan pendapat Syaikh al-Ghamari mengenai syarat kesamaan waktu antara imam/khatib dan jamaah/makmum di dalam suatu negara, sehingga tidak dibolehkan bagi siapa pun di Indonesia untuk mengikuti seorang imam di Arab atau Eropa atau Amerika karena perbedaan waktu shalat antara Indonesia dan wilayah-wilayah tersebut. Bahkan di negara yang sama sekalipun, jika jarak antara suatu daerah dengan daerah lain sangat berjauhan sehingga waktu shalatnya berbeda, itu juga tidak diperbolehkan. Misalnya orang yang tinggal di Kota Jayapura tidak boleh mengikuti seorang imam yang ada di Kota Jakarta, karena selisih waktu antara dua kota tersebut sangat jauh (sekitar 2 jam) meskipun keduanya berada dalam satu negara.
Senada dengan pendapat ini, Syaikh Ahmad al-Raisuni, dalam sebuah pertemuan virtual bertajuk “Ramadhân wa Hâlat al-Thawâri`” (Ramadhan dan Keadaan Darurat) yang diselenggarakan oleh Harakah Tauhid wal Ishlah di Meknes, menyampaikan pendapat mengenai kemungkinan hukum untuk melakukan shalat Tarawih di belakang seorang imam yang absen (tidak hadir) karena karantina atau isolasi. Ia mengatakan bahwa di masa pandemi ini banyak sekali kemudahan syariat yang diberikan Allah untuk umat Muslim, khususnya di dalam shalat-shalat nawafil.
Syaikh Ahmad al-Raisuni memberikan contoh pelaksanaan shalat di Arab Saudi. Ia mengatakan, disadari atau tidak, shalat dengan mengikuti imam melalui media ternyata dipraktikkan juga di Makkah dan Madinah. Di kedua kota suci itu, shalat dilaksanakan di pemukiman-pemukiman warga dan hotel-hotel di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan mengikuti imam yang ada di dua masjid besar tersebut melalui televisi atau pengeras suara, bahkan warga-warga yang tinggal di luar dua kota itu juga mengikutinya.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa hukum syariat sebenarnya memiliki keluasan dan keringanan. Umat Muslim bisa mengikuti fatwa-fatwa di atas dalam menunaikan shalat Jum’at di rumah masing-masing dengan mengikuti seorang imam yang berada di tempat yang jauh untuk melindungi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Seorang muslim yang tidak ingin melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengganti shalat Jum’at di masa pandemi ini, tetap bisa melaksanakan shalat Jum’at berjamaah melalui sarana-sarana komunikasi muktakhir yang tidak ada pada masa terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang bahkan lebih canggih daripada radio, atau bahkan lebih canggih daripada televisi sekalipun.