Categories
Opinion Expert Opinion

Akal-akalan Belanja Senjata Prabowo

Oleh Usman Hamid

“Menhan bilang anggaran pertahanan rahasia negara. Omong kosong. Anggaran pemerintah semuanya terbuka bagi publik untuk dibahas. Lagipula, kata dia, hampir semua senjata dibeli dari luar. Apanya yang mau dirahasiakan? Apa takut ketahuan harga, komisi, dan deal-deal lainnya?“ (Abdillah Toha, 5/6/2021)

Kicauan Twitter mantan anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menjadi ilustrasi paling sederhana untuk menggambarkan carut marut pengadaan alat utama dan sistem persenjataan (alutsista) di Indonesia.

Sebagai negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa dan populasi yang besar, Indonesia tentu membutuhkan alutsista yang ideal. Kebutuhan ini dituangkan dalam rencana pembangunan Minimum Essential Force (MEF) atau Kekuatan Pertahanan Minimum (KPM) sejak tahun 2010.

Saat itu Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (periode 2004-2009) menegaskan program KPM adalah bagian dari transformasi pertahanan nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menuangkan agenda pembangunan MEF melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 41 Tahun 2010 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. KPM I (2005-2013), KPM II (2014-2019), dan KPM III (2020-2024) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan satuan tempur (striking force), satuan siaga (standby force) dan satuan penjaga perdamaian (peacekeeping force).

Dengan MEF tersebut, pemerintah meningkatkan anggaran pertahanan secara drastis. Anggaran pertahanan pada 2010-2018 misalnya, mengalami kenaikan dari Rp 48,9 triliun menjadi Rp 107,6 triliun. Ini setara dengan sebesar 250%. Pemerintah bahkan sempat mengalokasikan dana sebesar Rp 471 triliun untuk program MEF 2010-2024 (Tim peneliti Imparsial, Desember 2019).

Sekarang, kita tiba-tiba dikejutkan oleh rencana Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto yang merencanakan belanja senjata sebesar 1.750 triliun untuk rencana strategis 2020-2024. Ini artinya anggaran tersebut direncanakan habis dalam waktu 2,5 tahun. Hal ini dituangkan dalam usulan Kemhan kepada Presiden Joko Widodo melalui rancangan Peraturan Presiden tentang Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Perpres Alpalhankam).

Yang juga mengejutkan adalah sumber pendanaannya berasal dari utang luar negeri, sumber pendanaan kredit eksport (KE) yang dikabarkan berasal dari Qatar, yang akan kian menambah jumlah utang luar negeri Indonesia yang nyaris tembus 6.000 triliun.

Besarnya anggaran pengadaan senjata di Indonesia ini menarik perhatian media internasional. Catatan editorial The Straitstimes baru-baru ini (4/6) misalnya, menyatakan khawatir atas rencana tersebut. Mereka juga setuju dengan harian The Jakarta Post yang menilai penting adanya transparansi.

Mengapa tiba-tiba muncul sebuah rencana belanja senjata yang fantastis? Bukankah selama ini telah ada penganggaran sektor pertahanan yang memadai khususnya dalam hal belanja senjata? Bagaimana sebenarnya tata-kelola soal pengadaan senjata di Indonesia? Bagaimana pemerintah memperbaiki masalah ini?

Alutsista Sarat Masalah

Wajar jika pengadaan senjata selalu mendapat sorotan. Sektor yang satu ini telah lama disinyalir memiliki banyak masalah dan karena itulah kita perlu memastikan adanya keterbukaan dan kontrol atas pengadaannya agar tidak terjadi korupsi, hingga penggunaannya di kemudian hari agar tidak digunakan untuk melanggar hak asasi manusia.

Tanpa keterbukaan, jelas akan terjadi korupsi. Mengapa keterbukaan sangat diperlukan? Pertama, Indonesia perlu meningkatkan indeks nilai Sektor Pertahanan Pemerintah dari Transparency International yang berada pada peringkat ‘D‘, yakni memiliki resiko korupsi tinggi. Kedua, tentu saja untuk memenuhi rasa keingintahuan publik Indonesia dan untuk memastikan tidak adanya korupsi yang merugikan negara, menggagalkan pencapaian poster ideal angkatan bersenjata, dan tidak menimbulkan korban kembali.

Dari observasi selama ini, setidaknya terdapat tiga masalah pengadaan senjata di Indonesia.

Pertama, pengadaan senjata untuk Indonesia selama ini diwarnai praktik percaloan sejak masa pemerintahan SBY hingga Jokowi. Sebut saja kasus pembelian helikopter menyeret Gubernur Aceh ke penjara, hingga pengadaan alutsista 2010-2014 sebesar US$ 12 juta yang menyeret Brigjen Teddy Hermayadi ke penjara seumur hidup. Skandal-skandal ini belum termasuk dugaan skandal Sukhoi tahun 2012, hingga pembelian rudal MLRS dari Brasil dan pembelian tank Leopard.

Sinyalemen adanya korupsi, kolusi dan nepotisme juga menguat dalam rencana Prabowo membeli senjata. Dalam suratnya tertanggal 16 Desember 2020, Menhan Prabowo menjelaskan bahwa Kemhan telah membentuk sejumlah perusahaan, di antaranya, Perseroan Terbatas (PT) bernama Teknologi Militer Indonesia (TMI). Di suratnya tersebut, Menhan juga menjelaskan bahwa para eksekutif perusahaan tersebut diangkat langsung oleh dirinya sendiri, terutama Mayor Jenderal (Purn) Glenny Kahuripan dan Ir. Harsusanto.

Perusahaan ini disinyalir sebagai bisnis swasta yang tidak bonafid, dikelola oleh salah seorang pengurus partai Gerindra dan ditunjuk karena faktor kedekatan pribadi dengan Prabowo. PT ini kemungkinan akan memperoleh komisi senilai 5% dalam perdagangan senjata global.

Perusahaan yang ditunjuk Memhan mini tampaknya didukung penuh PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan), apalagi kedekatan Menhan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri semakin terlihat dalam pembuatan patung berkuda dan penganugerahan gelar profesor dari Universitas Pertahanan.

Pertanyaan sederhana publik adalah, apakah boleh sebuah PT baru mendapat proyek yang besar? Tentu tidak. Semestinya ada pertimbangan bonafiditas, yakni pengalaman sukses mereka dalam melakukan pengadaan senjata bernilai tinggi.

Potensi terjadinya korupsi sangat besar, apalagi di tengah situasi pemberantasan korupsi di era Jokowi tengah melemah seiring dengan melemahnya institusi KPK. Jika terjadi korupsi maka bisa terjadi pembelian senjata berkualitas rendah sehingga berpotensi menimbulkan kerugian materiil yang lebih besar dan korban jiwa pada personil TNI itu sendiri seperti yang kita alami dari waktu ke waktu.

Yang akan rugi adalah negara. Dan dampaknya bisa sangat mematikan bagi masyarakat, dan prajurit militer itu sendiri, sebagaimana terlihat dalam kasus kapal selam yang tenggelam di perairan Bali baru-baru ini.

Praktik percaloan ini rentan terjadi mengingat Menhan tampak memaksa untuk membelanjakan anggaran sebesar 1700 triliun dalam 2,5 tahun hingga 2024, sebuah tahun politis di mana dia juga diperkirakan akan kembali mencalonkan diri sebagai Presiden.

Praktik percaloan ini bukan hanya berdampak pada korupsi anggaran yang merugikan negara, tapi juga menghasilkan perlengkapan militer yang berkualitas rendah menimbulkan korban puluhan jiwa.

Sekadar contoh, tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 baru-baru ini adalah tanda kuat betapa fatal dampak ketidakberesan dari pengadaan kapal selam buatan Jerman berusia 44 tahun ini dan juga kondisi umum alat utama sistem persenjataan di Indonesia. Tragedi ini harus jadi momen untuk memperbaiki mekanisme pengadaan alutsista Indonesia.

Kedua, di saat bersamaan, banyak pesawat angkut, pesawat latih, pesawat tempur, kapal perang, dan tank tempur yang dioperasikan oleh TNI ternyata belum siap tempur atau memiliki kesiaptempuran (combat readiness) yang rendah. Sebagai contoh, empat Sukhoi baru bisa digunakan untuk latihan dan menyiapkan penerbang handal. Diantara pesawat tempur yang ada, mungkin baru F5 dan F16 yang dilengkapi persenjataan.

Padahal, dari perspektif ancaman pertahanan eksternal, Indonesia jelas memiliki tantangan geopolitik strategis yang tidak ringan. Terdapat potensi konflik terbuka di Laut Cina Selatan dan dinamika rivalitas geo-politik antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang membuat Indonesia harus siaga menanggung benturan antara kekuatan besar, dan hal ini membutuhkan kesiapan dan ketersediaan alutsista yang baik.

Ketiga, pembelanjaan pertahanan di negeri terpadat keempat di dunia ini hanya berjumlah 0,8 persen dari produk domestik brutonya. Berbeda dengan negeri tetangganya seperti Timor Leste, Malaysia, Thailand, dan Singapura yang memiliki rasio lebih tinggi. Dengan jumlah yang kecil ini saja, laporan Kementerian Pertahanan Indonesia masih ditengarai bermasalah, dari ketaatan pada prosedur baku, risiko penyalahgunaan anggaran, hingga buruknya dokumentasi perjalanan dinas (Husodo 2019)

Ketiga masalah ini harus dipecahkan sebelum menambah anggaran. Tanpa solusi pada problem yang sudah inheren, proposal tambahan dana 1700triliun seperti menuang air pada ember bocor, sulit untuk merealisasikan Alpalhankam yang kuat yang sesuai dengan tantangan global abad XXI.

Tanpa itu, maka Indonesia sebagai salah satu negeri yang tergolong kepulauan terbesar di dunia ini tidak akan pernah bisa benar-benar memiliki angkatan bersenjata yang kuat yang sesuai dengan tantangan global abad XXI.

Kontrol HAM atas senjata

Selain keterbukaan, juga diperlukan adanya sebuah kontrol yang ketat atas pengadaan senjata dan juga penggunaannya dalam praktik. Di kalangan ahli HAM, terdapat beragam pandangan atas pengadaan dan pengunaan senjata militer. Sebagian menyerukan larangan total atas senjata, baik untuk jenis khusus, seperti drone atau nuklir, maupun yang lebih umum, bahwa penggunaan senjata dapat dibenarkan menurut hukum internasional untuk membela diri dan melindungi warga negara.

Amnesty International mendukung pandangan kedua dan telah lama ikut menyuarakan pentingnya kontrol atas perdagangan senjata (arms trade control). Dasar konseptualnya adalah karena Negara memiliki wewenang untuk menggunakan senjata untuk memastikan bahwa kehidupan, kebebasan, dan integritas fisik semua warga negaranya dilindungi dari serangan militer eksternal, atau ancaman langsung terhadap kehidupan selama operasi penegakan hukum internal.

Wewenang ini berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 51) di mana semua negara memiliki hak yang sah untuk membela diri. Namun demikian, wewenang ini diikuti dengan kewajiban yang mengharuskan negara untuk menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental (Pasal 1). Dengan kata lain, hak-hak ini datang dengan tanggung jawab hukum dan moral internasional untuk mengontrol dan membatasi proliferasi senjata.

Sebagai contoh, persenjataan militer yang mumpuni dapat digunakan untuk operasi pemeliharaan perdamaian internasional. Tentu saja, organisasi HAM seperti Amnesty International menekankan adanya kontrol yang lebih ketat pada pengerahan dan penggunan militer, sehingga tidak memicu konflik bersenjata dan memperburuk penderitaan manusia di sebuah wilayah.

Kontrol sipil atas militer perlu dikuatkan, terutama untuk mengawasi kemungkinan dana persenjataan tersebut dialihkan untuk mendukung agenda lainnya seperti agenda politik 2024. Oleh karena itu, DPR RI yang menggelar rapat tertutup saat membahas belanja senjata oleh Menhan Prabowo dengan alasan ‘rahasia negara‘, perlu mengubah rapatnya menjadi terbuka dan meminta Menhan memberikan penjelasan publik mengenai rencana belanja senjata RI yang idealnya tidak berhenti tiga tahun ke depan.  

Jika DPR terus memenuhi permintaan Menhan untuk rapat-rapat tertutup, dan jika di kemudian hari terjadi kembali penyimpangan, maka kita sebenarnya hanya tinggal menunggu skandal korupsi baru, senjata rongsokan bekas, tewasnya prajurit dalam operasionalisasinya, hingga pelanggaran HAM baru pada tahun-tahun mendatang.

Pada akhirnya, dengan masih berlangsungnya pandemi, kelesuan ekonomi, turunnya kesehatan masyarakat, serta mundurnya demokrasi Indonesia karena menyusutnya mutu ruang publik dan kekuatan oposisi parlemen, apakah belanja senjata adalah solusi yang kita butuhkan?

Warung Buncit, Jakarta, 8 Juni 2021

Leave a Reply