Categories
Current Affairs

Public Virtue Desak Presiden Cegah Regresi Demokrasi Lebih Jauh

Stop pemberhentian 57 pegawai KPK dan pemberangusan kebebasan berekspresi

Jakarta, 16 September 2021

Dalam memperingati Hari Demokrasi Internasional yang jatuh pada tanggal 15 September 2021 kemarin, Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute (PVRI) Usman Hamid menyatakan:

Indonesia mengalami regresi demokrasi yang serius. Ini adalah dampak pelemahan lembaga-lembaga demokrasi produk reformasi oleh kekuatan politik yang korup. Sebagian besar mereka merupakan elite-elite politik baru, sebagian lagi diinkubasi pada masa Orde Baru. Presiden Jokowi harus mencegah regresi demokrasi lebih jauh.”

Usman Hamid yang juga merupakan direktur Amnesty International Indonesia menyatakan jika menyusutnya kebebasan berekspresi dan pelemahan KPK melalui pemberhentian 57 pegawai KPK merupakan dua indikator yang paling memperlihatkan kemunduran yang terjadi saat ini.

Untuk kebebasan berekspresi, Public Virtue mencatat, represi semakin terlihat di tingkat negara dengan penerapan pasal-pasal karet dan represif seperti pasal pencemaran nama baik, penodaan agama, makar, hingga penghinaan pejabat yang ada dalam UU ITE dan KUHP. Peraturan ini digunakan untuk mempidanakan ekspresi dan pendapat yang dianggap kritis.

Di kesempatan yang sama, Deputi Driketur PVRI Anita Wahid menambahkan, kekuatan kritis yang mulai meningkat seperti gerakan mahasiswa dan pemuda, justru dikucilkan, bahkan mengalami pelarangan serta kriminalisasi.

Hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia juga terus mengalami kemunduran, seperti yang dikemukakan Freedom House dalam laporannya Freedom in the World 2021,” kata Anita.

“Kita turun dua poin dari tahun sebelumnya. Indonesia juga masih dikategorikan sebagai negara setengah bebas, dengan catatan masih tingginya kasus korupsi bersamaan dengan pelemahan KPK, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum minoritas, serta pelunakkan pemerintah terhadap kekuatan oposisi,” lanjutnya.

Public Virtue juga mencatat bahwa di tingkat masyarakat, UU berisi pasal-pasal karet ini menyediakan celah bagi siapa saja yang mengalami gejala intoleransi bertindak saling melaporkan atau mengambil tindakan main hakim sendiri tanpa intervensi negara yang sesuai hukum.

PVRI mendesak pemerintah agar mencegah fenomena regresi lebih jauh. Pemerintah perlu mengatasinya dengan beberapa cara.

Pertama, pemerintah perlu memperbaiki kualitas ruang publik dengan menjamin hak untuk menyatakan kritik dan menyampaikan protes publik, termasuk dengan cara berkumpul dan berserikat. Dalam hal ini, pemerintah perlu merevisi hukum-hukum yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat seperti UU ITE dan KUHP terkait penodaan agama, makar, penghinaan pejabat, dan pencemaran nama baik.

Kedua, pemerintah harus menjamin adanya independensi KPK dari segala kemungkinan intervensi yang melemahkan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Presiden harus turun tangan mencegah pemberhentian yang tidak fair atas 57 pegawai KPK, sebelum tanggal 1 Oktober 2021.

Ketiga, partai-partai politik perlu kembali menjalankan fungsi sebagai penyeimbang bagi partai-partai yang sedang berkuasa sekaligus mengamplifikasi suara-suara dari masyarakat yang belum terdengar oleh pemerintah. Partai-partai juga tidak boleh main-main dengan wacana amandemen UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan Presiden tiga periode atau bahkan menghapuskan hak pilih langsung warga.

Keempat, pemerintahan Jokowi wajib segera memenuhi janji-janji elektoralnya sebelum masa jabatannya berakhir. Salah satu yang terpenting adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Agenda ini bukan hanya penting untuk menghadirkan keadilan dan kepastian hukum bagi korban dan keluarganya, tetapi juga memperbaiki akar-akar penyebabnya seperti kebijakan represif, korupsi, dan eksploitasi sumber daya alam beserta tanah-tanah masyarakat adat melalui penyimpangan kekuasaan.

Kelima, pemerintah perlu mengagendakan kembali reformasi sektor keamanan yang belum tuntas. Ini penting agar pemerintah memiliki aparat keamanan yang akuntabel, efektif, profesional, dan menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.

Sebelumnya dalam diskusi WeekendTalk (12/9) yang diadakan oleh PVRI bertajuk ‘Mural: Semangat Melawan Regresi Demokrasi di Indonesia’, Amalinda Savirani selaku dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM juga menyampaikan bahwa Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi.

Kalau kita cek beberapa data survei, hampir sama isinya. Kira-kira mengonfirmasi kecenderungan Indonesia yang tidak mendukung gerakan prodemokrasi, khususnya kebebasan berpendapat,” kata dosen yang akrab disapa Linda ini.

Amalinda juga mengutip dua hasil survei yang hasilnya relatif senada. Survei Ikatan Politik Indonesia 2020 menemukan, hampir 70 persen responden setuju, bahwa publik kian takut menyatakan pendapat.

Unduh rilis kami melalui dokumen berikut:

Leave a Reply