Siaran Pers
Jakarta, 3 Oktober 2021
Menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh tindakan dari pemerintah. Menyempitnya ruang publik untuk kebebasan sipil, melebarnya ketimpangan sosial ekonomi akibat menguatnya oligarki, serta melemahnya keseimbangan kekuasaan yang terjadi di era pemerintahan Jokowi adalah sebagian contoh yang membuat kualitas demokrasi Indonesia mengalami regresi.
Hal itu mengemuka dalam sebuah diskusi akhir pekan berjudul ‘Regresi Demokrasi: Apa yang Harus Dilakukan?’ yang digelar pada Minggu, 3 Oktober 2021 di kanal Zoom dan YouTube Public Virtue. Acara yang digelar oleh lembaga kajian demokrasi dan aktivisme kewargaan Public Virtue ini merupakan prapeluncuran buku ISEAS yang terbit pada 2020 dengan judul “Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression”. Peluncuran edisi bahasa Indonesia buku ini akan dijadwalkan akhir Oktober mendatang dengan judul yang sama, “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?”.
Thomas Power selaku editor buku mengatakan, beberapa tindakan pemerintah Indonesia yang saat ini dapat dianggap telah menyebabkan regresi adalah penyalahgunaan hukum dan lembaga hukum yang melemahkan hak asasi manusia. Tindakan-tindakan pemerintah seperti kriminalisasi para aktivis, penegakan hukum yang partisan, dan penggelembungan kekuasaan eksekutif memberikan dampak besar dalam regresi demokrasi di Indonesia.
“Kalau dulu kriminalisasi aktivis dilakukan kepada orang-orang yang melawan pemerintah dan melawan demokrasi, maka saat ini kriminalisasi dilakukan kepada orang-orang yang peduli dan membela demokrasi,” kata dosen Universitas Sydney yang akrab disapa Tom.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kurawal Foundation Darmawan Triwibowo menilai bahwa sistem demokrasi saat ini menurun bukan karena adanya kudeta militer, melainkan karena tindakan mereka yang terpilih secara demokratis.
“Penggelembungan eksekutif saat ini tengah terjadi terutama karena polarisasi yang telah terjadi sejak Pemilu 2014. Akibatnya, saat ini seperti terjadi pertarungan politik yang saling meniadakan atau zero sum game di dalam tubuh pemerintah. Polarisasi tersebut juga melemahkan suara-suara berbeda lewat perangkat hukum. Jika perangkat hukumnya tidak ada, maka perangkat tersebut akan dibuat,” kata Darmawan.
Dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada Muhammad Najib Azca, mengamini pendapat Tom dan Darmawan. Menurutnya, situasi demokrasi Indonesia pada saat ini diwarnai oleh pelemahan berbagai lini sektor, salah satunya sektor keamanan. Reformasi keamanan saat ini juga terlihat mengalami banyak masalah.
Selain keamanan, diskusi juga menyoroti turunnya kualitas demokrasi dari aspek kualitas Pemilu di Indonesia. Peneliti Thermis Indonesia Titi Anggraeni mengatakan bahwa untuk menangkal isu regresi demokrasi, sebenarnya telah ada upaya untuk menguatkan sistem presidensial sejak tahun 2009.
“Penguatan sistem presidensial diperlukan karena presiden dan DPR perlu membuat banyak kesepakatan dalam pembuatan undang-undang, serta menjamin semua kelompok masyarakat memiliki representasi. Tapi yang terjadi bukanlah penguatan sistem tersebut, melainkan penguatan individunya. Akibatnya keseimbangan kekuasaan semakin lemah,” kata Titi yang pernah menjabat sebagai Direktur Perludem.
Selain itu, menurut Titi, lemahnya civic culture di Indonesia menyebabkan orientasi politik mengarah kepada individu ketimbang sistem, sehingga terjadi polarisasi di Indonesia yang mengkultuskan individu tertentu sebagai pemimpin. Polarisasi ini kemudian dikuatkan lagi dengan keberadaan oligarki yang semakin merajalela di Indonesia.

Unduh siaran pers kami melalui lampiran berikut
kontak:
Anisa +62 896-6898-8742
Hikari: +62 858 4295 8736