
Jakarta, 16 Maret 2022
Indeks Demokrasi Indonesia dikhawatirkan akan mengalami penurunan drastis apabila elite politik terus menyuntikkan kepentingan pribadi ke dalam kebijakan publik, tidak terkecuali perihal diadakannya pemilu secara reguler. Munculnya pernyataan terkait penundaan Pemilu 2024 dengan alasan tidak adanya anggaran, pandemi, maupun elektabilitas petahana yang tinggi merupakan logical fallacy yang inkonstitusional.
Hal ini digaungkan dalam konferensi pers berjudul “Demokrasi Konstitusional Terancam: Korupsi Masa Jabatan Kepresidenan” yang digelar Rabu, 16 Maret 2022 melalui kanal Zoom Public Virtue Research Institute dan Youtube Jakartanicus. Acara tersebut digelar atas inisiasi bersama beberapa organisasi masyarakat sebagai respons terhadap mencuatnya isu penundaan Pemilu 2024 mendatang melalui amandemen konstitusi oleh segelintir elite politik.
Miya Irawati, Direktur Eksekutif Public Virtue, membuka Konferensi Pers dengan menegaskan bahwa ide penundaan pemilu sangat berbahaya dan rentan “disusupi” oleh agenda pemberian wewenang bagi MPR untuk mulai menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Motif perpanjangan masa jabatan Presiden pun dinilai berakar pada ketamakan akan kekuasaan yang perlu segera dihentikan.
Tamrin Amal Tomagola, sosiolog dan Dewan Pendiri Public Virtue Research Institute mengemukakan bahwa adanya isu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden adalah bagian dari operasi politik oligarki Partai Politik dan Istana. Menurutnya penting kita sadari bahwa proyek IKN di Kalimantan sedang mengalami kekurangan dana akibat mundurnya beberapa investor, termasuk Softbank. Perpanjangan jabatan ini dapat menjadi ajang “bagi jatah” antar para elite politik. Namun, hal ini tidak seharusnya menghambat dijalankannya mandat konstitusi untuk Pemilu.
“Ini bisa mengakibatkan chaos politik—menyebabkan orang jadi tuman. Sedikit-sedikit akan mengamandemen konstitusi.” tegas Tamrin.
Pernyataan tersebut disetujui oleh Zainal Arifin Mochtar, dosen Hukum Tata Negara yang juga aktif dalam organisasi Themis Indonesia dan PUKAT UGM. Dia menyampaikan bahwa alasan penundaan Pemilu 2024 cenderung dibuat-buat, seperti munculnya alasan popularitas dan krisis ekonomi.
“Alasan di luar itu, sangat ekstra-konstitusional, misalnya dengan Dekret. Apa yang akan dilakukan oleh para politikus, bisa dilihat bahwa di baliknya adalah orang-orang yang lebih mementingkan kepentingan pribadi alih-alih kepentingan negara. Negara yang bermain-main dengan kepentingan pribadi adalah negara yang jauh dari demokrasi.”
Dalam kesempatan ini, Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas juga hadir dan menilai bahwa situasi politik saat ini “kumuh adab” dan perlu adanya respons kritis dari elemen masyarakat sipil. Menurutnya tidak ada alasan moral sama sekali untuk mengamandemen konstitusi dan menunda pemilu.
“Mari kita lihat, setidaknya dari 5 UU, dari UU Minerba sampai UU IKN yang dikeluarkan pada masa Presiden Jokowi, prestasi kepemimpinan Presiden Jokowi yang menggambarkan refleksi kualitas kepemimpinan politiknya. Ada kasus-kasus penambangan di mana-mana, ada pelumpuhan sistem lewat revisi UU KPK dan Tes Wawasan Kebangsaan yang dapat dilihat sebagai akrobat politik. Belum lagi, permainan mafia dan kartel minyak goreng.”
Muhammad Hanif, perwakilan dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengungkapkan bahwa suara dari pegiat Pemilu dan akademisi harus didengarkan, jangan sampai keinginan partai politik mencederai perjalanan demokrasi Indonesia. JPPR sendiri telah menyampaikan kritik terkait dimajukannya Pemilu ke bulan Februari, terlebih lagi apabila adanya penundaan Pemilu.
Aktivis Hukum dan Dosen Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat bahwa isu penundaan Pemilu merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan semangat reformasi nasional. Menurutnya, godaan masa jabatan dialami oleh banyak petinggi negara namun hal tersebut harus dirasionalisasikan sesuai konstitusi.
Bivitri Susanti, pengajar dan Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, menggarisbawahi pentingnya masyarakat sipil bergerak bersama untuk menggagalkan “pengkhianat konstitusi” yang mengusung rencana amandemen konstitusi, perpanjangan masa jabatan presiden, hingga penundaan pemilu tahun 2024. Bivitri mengingatkan, “Jangan sampai, [ketika] terjadi sesuatu yang inkonstitusional, konstitusinya yang mau diubah. Konstitusi bukan hanya teks, tetapi pembatasan kekuasaan dan HAM. Ketika pasalnya mau diubah, itu sendiri sudah inkonstitusional.”
Dengan basis kajian dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Nurul Amalia Salabi, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa alasan penundaan pemilu akibat pandemi sekalipun tidak dapat diterima, apalagi dengan alasan berbasis big data yang dinilai keliru. Jika pemilu benar-benar ditunda, Nurul memperingati bahwa Indonesia perlu bersiap-siap menerima indeks demokrasi yang turun jeblok. Oleh karena itu, Nurul menyerukan agar proses penyusunan anggaran pemilu segera dilakukan dan PKPU Tahapan serta jadwal Pemilu segera ditetapkan.
Hadar Nafis Gumay, peneliti senior Netgrit, mengkhawatirkan bahwa penundaan pemilu bisa terjadi kapan saja dan dalam berbagai situasi, misalnya penyelenggaraan pemilu yang berantakan, tidak siap, maupun pendanaan yang tidak jelas. Penyelenggaraan pemilu pun menjadi rentan karena sifatnya yang sekuensial sehingga elemen masyarakat sipil perlu mendorong DPR dan Pemerintah untuk mendorong dan membenahi persiapan pemilu.
Donny Ardyanto, Program Manager Kurawal Foundation, menutup dengan menyoroti pentingnya bagi masyarakat sipil untuk menuntut pemilu tetap dilaksanakan pada tahun 2024 agar para pemegang kekuasaan serta oligarki yang diuntungkan oleh kekuasaan tersebut dapat dihalangi dari “korupsi” kekuasaan yang semakin parah pada masa mendatang.